Tuhan...
Beri aku waktu 1 jam saja..
oleh: wasawa.blogspot.com
oleh: wasawa.blogspot.com
Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah
negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota .
Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang
orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang
gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu
sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan
dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.
Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan
masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota
itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa
mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada
dikantong.
Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1
tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke
jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah
toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.
Saat itu angin
Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka
beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: "Saya harus
meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau
tidak malam nanti kita akan tidur disini." Setelah mencium bayinya ia
pergi. Dan ia tidak pernah kembali.
Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi
beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika. Selama
beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suami
nya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.
Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu,orang-orang
yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana
selama 6 bulan berikutnya. Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk
bekerja.
Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang
kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada
jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak
memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia
tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan
gula-gula.
Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan
siapapun selama ibunya tidak ditempat. "Dalam beberapa hari mama akan
mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak
lagi tidur dengan angin di rambut kita". Gadis itu mematuhi pesan ibunya
dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka
tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anak nya dengan
hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti.. Kemudian,
dengan mata basah ibu itu menuju kepabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai
pemotong kulit.
Begitu lah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di
kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu
di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin
itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami
istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa,
dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota ...
Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru,
membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah
dipusat kota . Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami
istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun
mereka telah menikah selama 18 tahun.
Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka
memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah
gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar
seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano.Ia bergabung dengan
kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi.
Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya,dan bumi
terus berputar tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24, Serrafona
dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain
piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia
adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh
seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.
Setahun setelah perkimpoian mereka, ayahnya wafat, dan
Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate
sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di
kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah
kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang
ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayah nya
ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri.
Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri
tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya
tetap kusam.
Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup
kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada
telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan
sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan
seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat
pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas
kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan
emas murni.
Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk
tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di
mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh
anting-anting itu didekat foto.
Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan
perlahan-lahan air matanya berlinang . Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa
bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya,
yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah
membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi
pertanyaan-pertanya annya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan
wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya..
Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad
terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan
mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa
dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan
rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan
mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati
bersama.
Mata nya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri
suaminya yang sedang membaca koran: "Geraldo, saya adalah anak seorang
pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25
tahun?"
Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa
laluSerrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar
dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak
satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna
mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan
kantor catatan sipil.
Ia membentuk yayasan -yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh
panti-panti orang jompo dan badan-badansosial di seluruh negeri dan mencari
data tentang seorang wanita.
Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun
dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di
negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak
punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian,
mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil,
mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan
nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak
terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.
Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan
sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali,
dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.
Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, ijinkan saya
untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu
saya". Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerimakabar bahwa
ada seorang wanita yang ungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa
membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah
lampu merah, 600 km dari kota mereka.
Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta
itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara
putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis
kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.
Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih
ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan
kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu
sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna
diculik.
Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan
orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa
tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa
ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu
jawabannya.
Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00
senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. "Tuhan
maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah
menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak
lagi."
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran
kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua
dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari
jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih
belok lagi kejalanan berikut nya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka
masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona
gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. "Lekas, Serrafonna, mama
menunggumu, sayang". Ia mulai berdoa "Tuhan, beri saya setahun untuk
melayani mama. Saya akan melakukan apa saja".
Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan
ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya
sebulan saja". Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang
penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka.
Ia mendengar lagi panggilan mamanya , dan ia mulai menangis: "Tuhan, kalau
sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan
". Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat
sehingga Geraldo memeluknya erat-erat.
Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter
dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di
tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan
sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang
wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.
Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3
mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulansberhenti, diikuti empat mobil
rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis- pengemis yang segera
memenuhi tempat itu. "Belum bergerak dari tadi." lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih esadarannya
dan turun.
Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu
mertuanya. "Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus
menguatkan hatimu ."
Serrafona memandang tembok dihadapann ya, dan ingat saat ia
menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kaki nya dan ingat
ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi
mengingatkan nya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia
melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan
memberinya isyarat untuk mendekat.
"Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya,beri
kami sehari...... Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan
memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia....Jadi mama
tidak menyia-nyia kan saya".
Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita
tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan
orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan
ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia
masih muda.
"Mama.. ..", ia mendengar suara itu, dan ia tahu
bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari
- antara sadar dan tidak - kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan
seluruh kekuatann ya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.
Perlahan ia membuka genggaman tangann ya, tampak sebentuk
anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli
sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada
mamanya.
"Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari.
Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama.
Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan.
Mama jangan pergi dulu... Mama..."
Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia
berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan.....
satu jam saja.... ...satu jam saja....."
Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan
puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa
penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.
0 komentar:
Posting Komentar